SELAMA satu bulan di Kathmandu, rombongan pendaki ini mencurahkan waktu untuk menjaga kondisi tubuh. Galih Donikara mengadakan kursus memasak kilat untuk para sherpa yang selama ekspedisi juga bertugas menyiapkan makanan. Hasilnya? Soto ayam, baso tahu, bubur ayam, pecel, pisang goreng, dan banyak masakan lezat lain untuk para pencinta masakan Indonesia tidak lagi menjadi rahasia bagi penduduk Nepal. Untuk kepentingan ini, Kapten Rohadi ditugaskan membeli segala perlengkapan dengan kualitas yang terbaik.
Pakaian-pakaian baru pun didatangkan. Sepatu-sepatu dengan kualitas paling bagus plus perlengkapan pendakian yang lengkap, menambah semangat anggota rombongan. Selanjutnya, kelompok dipisahkan lagi menjadi dua. Satu akan melalui jalur utara (Tibet), satu lagi melewati jalur selatan (Nepal). Dalam hal adanya kondisi cuaca buruk di salah satu rute, kelompok yang lain akan terbebas dari masalah ini. Dan, tentu akan membuat kesempatan untuk berhasil semakin besar.
Kelompok yang melewati jalur selatan berada di bawah komando Letnan Iwan Setiawan. Terdiri dari enam anggota tentara, empat sipil, dua pendamping, tiga pelatih, 16 sherpa, dan empat juru masak. Tim yang lewat jalur utara di bawah komando Pembantu Letnan Sudarto. Terdiri dari empat anggota tentara, dua sipil, dua pendamping, satu pelatih, 12 sherpa, dan tiga juru masak.
Pada 11 Februari, Prabowo Subianto meninjau keadaan para pendaki. Ia menemani kelompok yang melewati rute selatan dari udara ke Lukla yang menjadi titik keberangkatan dan kemudian dijemput dengan pesawat ke Jakarta. Kelompok yang melewati jalur utara meninggalkan Kathmandu pada 20 Februari 1997 ke perbatasan Sino - Tibet.
Di atas ketinggian 3.700 meter yang bersalju tebal, Prabowo masih sempat memberikan motivasi kepada para pendaki. Sekali lagi ia berpesan untuk berhati-hati. Tidak usah memaksakan diri, tetapi jangan menyerah. ”Pendakian ini bukan untuk saya, bukan untuk Anda, tapi untuk bangsa, negara, dan Merah Putih,” tegas Prabowo.
Kelompok yang lewat jalur selatan menuju base camp menggunakan pendekatan serupa ketika mereka mencapai puncak Island. Anatoly Boukreev menemani mereka. Akhir musim dingin tahun itu ditandai dengan jatuhnya salju. Setelah melewati beberapa tahapan, para pendaki mencapai base camp pada 19 Maret. Delapan belas tenda didirikan oleh para sherpa untuk mengakomodir para pendaki dan barang-barang yang dibawa pada ketinggian 5.300 meter di atas permukaan air.
Pada 22 Maret, tim kembali berangkat. Tahap berikutnya, di camp 1, hanya berjarak 800 meter tetapi perjalanan sangat berbahaya dan penuh rintangan. Para pendaki harus menyeberangi sungai-sungai kecil yang sangat dalam menggunakan jembatan darurat yang dibuat oleh para sherpa dengan kerangka alumunium ringan.
Kekurangan oksigen juga menjadi masalah tersendiri. Setiap lima langkah mereka harus berhenti untuk mengambil napas. Asmujiono menjadi orang pertama yang mencapai camp dalam waktu 13 jam. Kedatangan pendaki selanjutnya berjarak 18 jam. Hanya satu orang yang kembali ke base camp.
Tanggal 26 Maret, seluruh tim kembali ke camp 1. Perjalanan kedua diselesaikan lebih cepat daripada yang pertama. Hari berikutnya, mereka melanjutkan perjalanan ke camp 2, yang waktu itu berada pada ketinggian 6.500 meter. Para pendaki sudah sangat kelelahan dan kehilangan gairah. Namun, pada 28 Maret, mereka berhasil melewati tes penyesuaian iklim untuk melanjutkan pendakian ke ketinggian 6.800 meter.
Setiba kembali di camp 2, mereka terperangah mendapati tenda-tenda mereka sudah hancur diterjang angin badai. Akhirnya mereka hanya berkumpul di tiga tenda yang masih bisa digunakan. Lalu, dengan cepat mereka kembali ke base camp tanpa berhenti di camp 1. Seperti sebelumnya, Asmujiono adalah orang pertama yang sampai. Dia bilang, dirinya mendapat tenaga ekstra alami dari kebiasaan minum tonik berupa cairan jahe dicampur dengan kuning telur.
Tanggal 2 April, kelompok rute selatan sudah mendapat cukup pemulihan untuk percobaan pendakian yang kedua. Tujuan mereka kali ini adalah mencapai camp 2, dilanjutkan perjalanan ke camp 3, lalu melaju ke camp 4, dan kembali secara bertahap ke base camp.
Camp 2 dicapai sesuai jadwal. Pada 3 April, tim Indonesia berhasil melewati penyesuaian iklim pada perjalanan ke camp 3 di ketinggian 6.800 meter. Dua anggota tim menderita berbagai macam gangguan fisik dan terpaksa kembali ke base camp.
Sehari kemudian, 4 April, para instruktur terpaksa mengumumkan adanya kemungkinan pembatalan ekspedisi. Setelah semalam diserang cuaca buruk dan badai salju, tim Indonesia sendiri enggan untuk pergi lebih jauh lagi. Semangat mereka juga sudah menurun drastis. Di sisi lain, mereka sadar telah meninggalkan teman-teman mereka yang menderita sakit karena cuaca. Saat itu mereka telah mencapai camp 3 di ketinggian 7.300 meter.
Setelah tidak tidur semalam, seorang anggota tim terpaksa balik lagi ke base camp ditemani seorang sherpa. Ia muntah darah, enam orang yang tersisa akhirnya menggunakan masker oksigen untuk pertama kali. Mereka mencapai ngarai bergaris kuning yang terletak pada ketinggian 7.852 meter dengan segala macam kesulitannya. Dua pendaki sipil yang tersisa, salah satunya juru masak Galih Donikara, sangat yakin tidak mungkin mereka melanjutkan pendakian. Bersama-sama mereka kembali ke Camp 3.
Hari berikutnya, tiga anggota tentara langsung kembali ke base camp. Asmujiono menderita frostbite, kaku di salah satu tangannya. Mereka memaksa kecepatan dan sampai pada malam hari. Ini mengejutkan para sherpa. Mereka kemudian turun dan mengambil waktu istirahat selama seminggu di Deboche, tempat yang terletak di ketinggian 4.300 meter.
***
Tanda-tanda untuk memulai tahap akhir yang akan membawa mereka ke Puncak Everest terlihat pada 17 April. Tetapi kekecewaan yang mendalam terlihat pada tim pendaki sipil. Pasalnya, instruktur hanya memilih Letnan Iwan Setiawan, Sersan Satu Misirin, dan Prajurit Asmujiono untuk berangkat ke pendakian menuju puncak. Lainnya bertahan dan dikerahkan ke beberapa camp.
Pada 22 April, ditemani seorang instruktur dan sherpa yang lebih berpengalaman, ketiga finalis ini meninggalkan base camp dan menuju ke Puncak Everest. Tahap pertama membawa mereka ke camp 2. Ini dicapai menjelang sore. Esok harinya, setelah sarapan kilat, mereka mengikuti Boukreev yang memimpin menuju ke camp 3. Rombongan tersebut berjalan berurutan, tiba di camp sekitar 14 jam kemudian. Kelompok ini terjaga sepanjang malam, mengantisipasi ada badai. Di atas angin yang bertiup kencang, mereka mendengar suara es yang pecah diterjang angin kencang.
Hari berikutnya cuaca sangat ekstrem. Baru sehari sesudahnya rombongan kecil, dilengkapi dengan masker oksigen dan silinder tambahan, berangkat perlahan menuju camp 4. Dengan bantuan kabel yang sudah dipasang oleh para pendaki sebelumnya, mereka tiba dengan selamat di camp yang terletak di Pass Selatan.
Ketiga prajurit Kopassus tersebut mencoba beristirahat dalam tenda mereka. Mereka sadar betul, ini pertama kalinya mereka mencapai camp ini dan merupakan tempat paling tinggi yang pernah mereka alami.
Cuaca dingin yang sangat mencekam bisa terus berlanjut. Boukreev akhirnya membuka jalan dengan menembus rintik-rintik salju yang berjatuhan. Ia menyadari, orang-orang Indonesia ini bergerak sangat lambat dan ia takut malam nanti akan ada badai salju yang hebat. Berdasarkan pengalaman ekspedisi tahun sebelumnya, para pendaki terjebak dalam angin badai yang bertiup dengan kekuatan 200 kilometer per jam. Beberapa anggota tim tewas di tempat itu.
Setelah sampai di puncak bagian selatan, Boukreev sadar rombongannya tidak lagi dilindungi oleh kabel pengaman. Ada Sherpa - sherpa yang paling andal, berhasil membuka jalan masuk lewat salju menembus titik yang dikenal sebagai Hillary’s Step. Tetapi itu baru jam 12.30, sementara kedatangan mereka 15 jam lagi. Tentu akan sangat terlambat.
Iwan sudah berada pada batas kekuatannya, Asmujiono menderita sakit punggung. Hanya Misirin yang masih dalam keadaan baik. Boukreev memutuskan untuk mengirim Iwan Setiawan dan Asmujiono kembali ke titik mereka berangkat. Ia merasa, mereka tidak akan dapat bertahan jika meneruskan perjalanan ke puncak. Kedua prajurit itu menolak. ”Kami pasukan Komando!! Kami akan terus sampai akhir…!” Sambil menggerutu, Boukreev mengangguk memberikan persetujuan. Kedua orang itu akhirnya tetap berada dalam rombongan.
Kelompok ini berjalan lagi. Misirin berada di depan, memimpin rombongan. Ia sudah bertekad menjadi orang Indonesia pertama yang menginjakkan kaki di Puncak Himalaya. Namun, sangat mengejutkan, Misirin jatuh pingsan hanya beberapa meter dari puncak. Besar kemungkinan ia kelelahan. Melihat hal itu, Asmujiono seperti mendapat tambahan kekuatan untuk mempercepat langkah. Akhirnya, ia mencapai titik yang menjadi tanda puncak dari gunung tertinggi di planet ini.
Menghadap kamera dan meletakkan semua peralatannya, termasuk masker oksigennya, melepas helm, Asmujiono lalu memasang baret merahnya. Prajurit muda itu sudah mewujudkan impian terindahnya. Kopassus menang dan Indonesia pun berjaya. Bendera Merah Putih berkibar pertanda kemenangan. Gema takbir, azan, dan teriakan komando pun kembali terdengar. Allahu Akbar!
***
Prabowo bersyukur, bendera Merah Putih sudah berkibar di atap langit. Kopassus sudah melewati batas ketahanan mereka yang luar biasa dan telah menunjukkan tekad serta semangat mereka. Tim ini juga sudah mampu menempatkan diri sejajar dengan para pendaki gunung kelas dunia.
Di kemudian hari, ketika meninggalkan Kopassus, Prabowo merasa yakin, dirinya sudah mencapai paling tidak 40 persen dari apa yang seharusnya ia lakukan. Wajar jika Prabowo merasa bangga. Ia sudah menanamkan kepada anak buahnya rasa kebersamaan di antara mereka, esprit de corps, juga rasa cinta Tanah Air. Secara pribadi Prabowo sendiri telah mampu menunjukkan diri sebagai komandan, dalam pengertian ”Komandan adalah prajurit terbaik di unitnya.”
0 comments:
Post a Comment