Home » » Prabowo Subianto : Masa Kecil 10 Tahun Di Pengasingan

Prabowo Subianto : Masa Kecil 10 Tahun Di Pengasingan

Ayah Prabowo, Sumitro Djojohadikusumo, lahir di Kebumen, Jawa Tengah. Ia menikah dengan Dora Marie Sigar, gadis Minahasa yang dikenalnya semasa tinggal di Belanda, pada 7 Januari 1947. Waktu itu Sumitro kuliah ekonomi di Rotterdam. Sedangkan Dora, yang sudah belasan tahun menetap di Negeri Kincir Angin, mengambil sekolah perawat di Utrecht. Sebuah perkawinan lintas agama yang terus dipertahankan oleh keluarga ini. 

Sejak awal, Sumitro maupun Dora sama - sama menolak pindah agama. Satu sikap saling menghargai, tenggang rasa, dan demokratis yang kelak menurun pada putra-putri mereka. Selama kurun waktu 1948 s.d. 1954, Sumitro-Dora dikaruniai empat anak. Dua anak perempuan, Biantiningsih Miderawati dan Maryani Ekowati, lahir pada 1948 dan 1950. Disusul dua anak laki-laki, Prabowo Subianto dan Hashim Suyono, yang lahir pada 1951 dan 1954. 

Maryani menikah dengan pengusaha asal Prancis, Didier Leaistre, sedangkan Biantiningsih menjadi istri J. Soedrajad Djiwandono, yang pernah menjabat Gubernur Bank Indonesia pada pertengahan 1990-an. 

Meskipun harus tinggal berpindah-pindah di beberapa negara, anak-anak Sumitro beruntung mewarisi kecerdasan orangtuanya. Biantiningsih misalnya, tercatat memiliki dua gelar. Satu dari South East Asian Studies di University of Wisconsin, satu lagi sarjana pendidikan dari Harvard. Maryani pun sama. Ia ahli mikrobiologi yang juga mengantungi dua gelar kesarjanaan. 

Berbeda dengan anak-anak perempuan yang diberi keleluasaan memilih studi, Sumitro agaknya punya rencana tersendiri terhadap dua anak lelakinya. Ia ingin Prabowo masuk universitas dan mendalami studi ekonomi seperti dirinya. Sedangkan terhadap Hashim, Sumitro sangat ingin ia mau menekuni karier militer. Sang ayah yakin benar, Hashim memiliki kualitas dan kemampuan untuk menjadi pilot pesawat tempur yang tangguh. 

Namun, di akhir sekolah menengahnya, Hashim rupanya lebih memilih kuliah di Claremont College dan Pomona California, dua kampus yang terkenal dengan riset-riset ekonominya. Ujung-ujungnya, Prabowo-lah kelak yang memutuskan masuk militer, meski jelas bukan untuk menggantikan Hashim memenuhi keinginan ayahnya. 

Selain kecerdasan, Sumitro-Dora juga mewariskan prinsip-prinsip egaliter, demokratis, dan sikap menenggang. Termasuk yang terkait dengan suku, agama, dan ras. Tak aneh jika banyak yang menyebut keluarga Sumitro sebagai ”Keluarga Pancasilais”. Sebab, walaupun agamanya berbeda-beda tetapi kehidupan mereka tetap harmonis. Prabowo contohnya. Ia penganut Islam dan berteman dekat dengan banyak kalangan Islam. Mariani pun sama, beragama Islam. Bianti dan Soedradjat pemeluk Katolik, sedangkan Hashim dan Ani istrinya beragama Protestan. Mereka berbeda, tapi bahagia. 

Lahir di Jakarta pada 17 Oktober 1951, Prabowo muda sudah membuktikan memiliki wibawa dan kecenderungan untuk menjadi pemimpin. Semasa masih di sekolah dasar, ia sudah terbiasa melatih diri untuk dapat memberi aba-aba dengan gaya militer. Ia tak ragu naik ke atas kursi, berteriak pada kawan-kawannya. Di rumah, ia menyimpan kenang-kenangan berupa pernak-pernik militer peninggalan kedua pamannya. Suatu kenangan yang terus membayangi masa kecil dan dewasa Prabowo.

Umur lima tahun, Prabowo masuk sekolah di Sekolah Sumbangsih, terletak di kawasan Setiabudi, Jakarta. Inilah satu-satunya sekolah Indonesia yang diikuti Prabowo, selain Akademi Militer yang ia masuki setelah menjadi pemuda. Tahun 1957, ketika pecah pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), Prabowo pergi meninggalkan Jakarta bersama ibu, dua kakak perempuan, dan adik laki-lakinya. Mereka menumpang pesawat DC-3 Dakota terbang menuju Padang, menyusul Sumitro yang waktu itu terang-terangan menjadi pendukung gerakan separatis tersebut. 

***

Keluarga Sumitro sempat tinggal beberapa bulan di Sumatra Barat. Sampai akhirnya, beberapa pekan sebelum Padang dikuasai tentara, keluarga ini pindah ke Singapura. Sejarah kemudian mencatat, pengasingan diri bersama keluarga yang dimulai dari Singapura ini kelak membawa Prabowo ke beberapa tempat yang luar biasa di Asia dan Eropa. Secara keseluruhan, keluarga Sumitro menghabiskan waktu 10 tahun hidup dalam pengasingan, sejak 1958 - 1968.

Di Singapura, sembari menyesuaikan diri dengan kehidupan baru, Prabowo bersekolah di British Elementary School. Tidak berlangsung lama, karena keburu terusik oleh riak-riak politik di negara-kota itu. Tahun 1959, Singapura berhasil mendapatkan pemerintahan sendiri. Mei tahun yang sama, pemilu pertama diselenggarakan untuk memilih 51 anggota perwakilan di parlemen. Memenangkan 53 suara, People’s Action Party (PAP) pun berkuasa. PAP adalah kelompok sayap kanan yang para pemimpinnya punya kecenderungan untuk menjaga hubungan baik dengan Presiden Soekarno.

Terkait alasan itu, mereka kemudian berbicara terus terang kepada Sumitro. Intinya, tidak sebaiknya ia dan keluarganya tinggal di Singapura yang notabene bertetangga dekat dengan Indonesia. Sumitro bisa memahami. Ia lalu memutuskan memboyong seluruh keluarganya ke Hong Kong, sekaligus memulai bisnisnya. 

Di negeri koloni Kerajaan Inggris ini, Sumitro sebelumnya memang sudah mendirikan perusahaan: Ecosafe – Economic Consultant for Asia and the Far East (Konsultan Ekonomi untuk Asia dan Timur Jauh). Prabowo yang masih belia, bersama dua kakak perempuan dan adiknya didaftarkan di Glenealy Junior School.

Hanya dua tahun di Hong Kong, keluarga ini sudah pindah lagi ke Kuala Lumpur-Malaysia, dan tinggal di sana selama dua tahun (1962-1964). Bukan kebetulan, banyak pemimpin Malaysia saat itu, khususnya Perdana Menteri Tengku Abdul Rahman, adalah teman baik Sumitro. 

Di Kuala Lumpur Prabowo melanjutkan studi di Victoria Institute, sekolah Inggris. Di sinilah ketertarikannya pada dunia kemiliteran semakin tampak. Ia misalnya, lebih menyukai kegiatan ekstrakurikuler baris-berbaris dan main drum band ketimbang mengikuti ekstrakurikuler yang lain. 

Namun, situasi politik regional yang memanas, sekaligus mengawali konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia (1963), membuat keluarga Sumitro kembali berpikir untuk pindah lagi. Dalam konfrontasi itu, Sumitro tentu berpihak pada negaranya, meskipun di Tanah Air ia menentang secara terbuka politik Soekarno. Sumitro tidak tedeng aling-aling dalam membela negaranya. Bahkan, dalam segala konflik dengan pihak asing, ia merasa perlu untuk selalu berada di pihak Indonesia.

Sikap Sumitro sangat tegas. Termasuk menyangkut keputusannya untuk pindah ke sebuah negara netral. Pilihan jatuh ke Zurich, Swiss. Suatu pilihan yang, sudah pasti, membawa perubahan iklim dan gaya hidup yang mengejutkan bagi anak-anaknya. Namun, anak-anak Sumitro sudah terbiasa dan siap menerima perubahan lingkungan sekolah yang kali ini memang benar-benar berbeda, yakni di American International School. 

Di sekolah ini, Prabowo (waktu itu 13 tahun) aktif belajar bahasa Jerman dan Prancis. Ia bisa mengapresiasi manfaat bahasa Goethe itu dan menemukan nuansa yang tidak ada batasnya dalam bahasa Prancis. Prabowo menunjukkan minat yang sangat besar pada dua bahasa asing ini. 

Namun, seperti sudah suratan takdir, Swiss ketika itu baru akan menerapkan undang-undang keimigrasian. Kenyataan tersebut berdampak pada penolakan pemberian suaka politik bagi keluarga Sumitro. Alhasil, untuk kelima kalinya keluarga ini mesti pindah lagi mencari pelabuhan baru untuk tinggal.

Beruntung, pemerintah Inggris mengizinkan mereka untuk tinggal permanen di wilayah Inggris Raya. Medio 1966, keluarga Sumitro tiba di London. Seperti di Swiss, Prabowo masuk American International School yang letaknya tak jauh dari Taman Regent. Prabowo beruntung, di sekolah ini ia mendapat guru-guru hebat dan punya kenangan mendalam dengan salah satunya. Ia seorang profesor matematika, bekas kapten angkatan laut, yang dalam beberapa hal berhasil menanamkan kepada Prabowo ihwal pentingnya kedisiplinan. 

Kapan saja ada kesempatan, Prabowo sering pergi ke Speaker’s Corner di Hyde Park untuk mendengarkan orasi para ”orator kotak sabun” yang kesohor itu. Di lain kesempatan, Prabowo acap menghabiskan waktu untuk menyelesaikan dua buku dalam seminggu. Sejak kecil, Prabowo memang pembaca buku yang tekun. Kutu buku. Hobi yang ia tekuni hingga menyelesaikan sekolah menengahnya pada 1968.

Semasa kanak-kanak, Prabowo memiliki rasa ingin tahu tentang apa saja. Ia juga tak pernah terlihat menderita karena persoalan keluarganya yang seringkali harus berpindah-pindah. Prabowo sangat menikmati masa kecilnya. Baginya, kesulitan-kesulitan itu tidaklah berarti jika dibandingkan dengan pengalaman dan teman-teman baik yang ia dapatkan selama tinggal di pengasingan. 

Prabowo bahkan merasa tidak perlu ambil pusing, meskipun di Eropa – khususnya di Inggris – suasana pergaulan di sekolah agak kurang bersahabat. Ia sering menjadi bahan olok-olok teman-temannya. Prabowo bahkan tak pernah diundang dalam pesta dan acara anak muda yang diadakan oleh teman-teman sekelasnya. Karena berasal dari Indonesia, ia dianggap terbelakang. ”Mereka berpikir, saat itu orang Indonesia masih tinggal di atas pohon,” ujarnya. 

***

Di rumah, Prabowo terbiasa menggunakan bahasa Inggris untuk berbicara dengan orangtua dan saudara-saudaranya. Kebiasaan berbahasa Inggris inilah yang, pada gilirannya, membuat Prabowo harus kembali belajar berbahasa Indonesia ketika diterima di Akademi Militer Magelang. Selama di Inggris, Prabowo menguasai sastra Anglo-Saxon dan – di atas segalanya – tentu saja sejarah bahasa Inggris. Prabowo tidak pernah menyukai matematika, meskipun ia mendapat nilai memuaskan pada ujian matematika. 

Mata pelajaran favoritnya adalah sejarah. Ini tak lepas dari minatnya yang sangat besar untuk mempelajari sejarah Eropa. Secara pribadi, Prabowo sangat terkesan dengan prestasi dari tokoh-tokoh pengukir sejarah seperti Alexander yang Agung, Julius Caesar, Napoleon Bonaparte – pemimpin-pemimpin yang garis hidupnya amat memukau perhatiannya. Di kemudian hari, ketika menjadi perwira, Prabowo juga sangat mengagumi Wellington. 

Di mata Prabowo, Napoleon adalah seorang pahlawan. Karisma dan kemampuannya menaklukkan Corsica adalah perpaduan yang ultra-luar biasa dari seorang militer jenius. Ia mempelajari strategi-strategi Napoleon dalam setiap gerakannya. Mulai dari Austerlitz sampai Waterloo. Buku-buku biografi wakil-wakil Napoleon pun dilahap habis, dari yang flamboyan sampai yang benar-benar prajurit sejati. Dari Murat sampai Ney, sosok pemberani dari yang paling berani. 

Begitu kuatnya kekaguman pada Napoleon ditunjukkan ketika Prabowo bersama keluarga berkunjung ke Paris, Prancis, pada 1965. Di Invalides, mereka mengunjungi makam Napoleon Bonaparte. Semua orang yang waktu itu ada di sana ingat betul, Prabowo menghabiskan waktu untuk berdiam diri dan merenung di depan nisan sang penakluk agung ini.

Prabowo juga memiliki ketertarikan khusus pada sosok Musthafa Kemal Attaturk. Pemimpin besar Turki yang dengan gemilang menahan serangan-serangan pasukan Inggris, Italia, dan Prancis, sekaligus pendiri Republik Turki modern. Selain itu, tokoh gothic Jenderal De Gaulle, yang dihukum mati secara in absentia oleh rezim fasis karena memilih jalan untuk kemerdekaan, juga mendapat tempat khusus di hati Prabowo. 

Meski dibesarkan dengan sistem pendidikan Barat, Prabowo tidak ”kebarat-baratan”. Semasa remaja, ia bahkan sempat mengalami krisis jatidiri. Ia pernah dihadapkan pada pertanyaan, apakah ia orang Barat ataukah orang Asia. Pencarian jawaban itu berakhir. Sebab, jauh di lubuk hatinya, ia yakin dirinya orang Indonesia dan bangga pada negaranya. Ia mencintai tanah airnya. Dan, ini dibuktikan: meskipun tinggal di Eropa, Prabowo secara intens mengikuti perkembangan negaranya. Bahkan mengikuti perjuangan kemerdekaan di negara-negara Asia dan Afrika. 

Saat itu, 1960-an, adalah tahun-tahun munculnya sejumlah pahlawan dari dunia ketiga seperti Nasser dan Nehru. Mereka adalah orang-orang yang memiliki tekad kuat untuk mengangkat martabat bangsanya. Indonesia sendiri sebenarnya berada pada fase ini. Namun, menyadari masih banyaknya persoalan, mulai dari kemiskinan hingga keterbelakangan, membuat Prabowo yakin: seandainya kelak ia pulang dan memainkan peran di Tanah Air, apa yang akan ia perankan harus dimulai dari anak tangga paling bawah.
Thanks for reading Prabowo Subianto : Masa Kecil 10 Tahun Di Pengasingan

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

4 comments:

  1. Pak rudi koq sombong awakmu, intelektualisme historis sang pemimpin, koq dicampuri pesugihan dengan pede lagi mempromosikanny, JAN TENAN?? Aku iki yo pengusaha wis nggak katek ngono-ngonoan,, ngisin-ngisini titelku??

    ReplyDelete
  2. Pesugiahan putih? ? Itu opo
    Yaa sama aja pesugihN to

    ReplyDelete
  3. Lha kok iklan pesugihan di kolom komentar..hadewwwh konslet kowe mbah.

    ReplyDelete
  4. Nyeleneh dan Musyrik.
    Pesugihan putih iku opo toh...Sego putih tah.
    Astagfirullah

    ReplyDelete